Luhut Sebut Corona Tak Tahan Cuaca Panas di Indonesia, Begini Hasil Analisis BMKG
Nasional

Kajian tersebut melibatkan 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM).

WowKeren - Menteri Koordinator Bidang Kemaritiman dan Investasi Luhut Binsar Pandjaitan sempat berbicara mengenai virus corona di Indonesia. Menurut Luhut, virus yang menyebabkan Covid-19 tersebut tidak kuat berada di wilayah bercuaca panas seperti Indonesia.

Hal tersebut disampaikan Luhut usai mengikuti rapat terbatas (ratas) bersama Presiden Joko Widodo pada Kamis (2/4). Awalnya, Luhut berbicara mengenai pentingnya menjaga jarak atau melakukan physical distancing untuk mencegah Covid-19. Kemudian, Luhut mengklaim bahwa Covid-19 tidak kuat hidup di Indonesia.

"Tetapi kalau kita tadi bisa mendisiplinkan rakyat kita dengan menjaga jarak itu, itu akan sangat-sangat membantu," tutur Luhut. "Dari hasil modeling kita yang ada, cuaca Indonesia, ekuator ini, yang panas dan juga humidity tinggi itu untuk Covid-19 ini enggak kuat."

Kini, Badan Meterorologi, Klimatologi, dan Geofisika (BMKG) melakukan kajian terkait pengaruh cuaca dan iklim dalam penyebaran virus corona. Kajian tersebut melibatkan 11 Doktor di Bidang Meteorologi, Klimatologi dan Matematika, serta didukung oleh Guru Besar dan Doktor dari Fakultas Kedokteran, Kesehatan Masyarakat dan Keperawatan Universitas Gadjah Mada (UGM).


Menurut Kepala BMKG, Dwikorita Karnawati, kajian itu berdasarkan analisis statistik, pemodelan matematis dan studi literatur. Kajian ini disebutnya menjelaskan adanya indikasi cuaca dan iklim merupakan faktor pendukung untuk kasus wabah ini berkembang pada outbreak yang pertama di negara atau wilayah dengan lintang tinggi. "Tapi bukan faktor penentu jumlah kasus, terutama setelah outbreak gelombang yang ke dua," terang Dwikorita pada Sabtu (4/4).

Meningkatnya kasus di Indonesia pada gelombang kedua wabah corona ini, tutur Dwikorita, kemungkinan lebih kuat dipengaruhi oleh mobilitas manusia dan interaksi sosial. Dwikorita menilai pengaruh kondisi cuaca/iklim, serta kondisi geografi kepulauan di Indonesia terhadap persebaran Covid-19 sebenarnya relatif lebih rendah.

"Indonesia yang juga terletak di sekitar garis khatulistiwa dengan suhu rata-rata berkisar antara 27- 30 derajat celcius dan kelembapan udara berkisar antara 70 - 95%, dari kajian literatur sebenarnya merupakan lingkungan yang cenderung tidak ideal untuk outbreak Covid-19," ungkap Dwikorita. "Namun demikian fakta menunjukkan bahwa kasus Gelombang ke-2 Covid-19 telah menyebar di Indonesia sejak awal Maret 2020 yang lalu. Hal tersebut diduga akibat faktor mobilitas manusia dan interaksi sosial yang lebih kuat berpengaruh, daripada faktor cuaca dalam penyebaran wabah Covid-19 di Indonesia."

Dengan demikian, pihak BMKG dan UGM menyarankan agar mobilitas penduduk dan interaksi sosial benar-benar dibatasi. Apabila hal tersebut dilakukan, maka suhu dan kelembapan udara bisa menjadi faktor pendukung dalam mengurangi risiko penyebaran wabah corona. Ia juga mengingatkan agar masyarakat mewaspadai masa pergantian musim di Indonesia, yakni memasuki bulan April sampai Mei.

"Jadi secara umum hasil kajian Tim BMKG dan UGM ini juga sangat merekomendasikan kepada masyarakat untuk terus menjaga kesehatan dan meningkatkan imunitas tubuh, dengan memanfaatkan kondisi cuaca untuk beraktivitas atau berolahraga pada jam yang tepat," pungkas Dwikorita. "Terutama di bulan April hingga puncak musim kemarau di bulan Agustus nanti, yang diprediksi akan mencapai suhu rata-rata berkisar antara 28 derajat Celcius hingga 32 derajat Celcius dan kelembapan udara berkisar antara 60 persen s/d 80 persen."

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru