Omnibus Law Disahkan, Pasal-Pasal Kontroversial Ini Buat Pekerja Makin Sengsara
Nasional

DPR resmi mengesahkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law pada Senin (5/10). Berikut pasal-pasal kontroversial yang paling banyak disorot karena dinilai merugikan pekerja.

WowKeren - Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) telah mengesahkan RUU Cipta Kerja Omnibus Law dalam rapat paripurna pada Senin (5/10). Namun, pengesahan tersebut langsung memicu gelombang kritikan dari masyarakat Indonesia.

Pasalnya, banyak pasal kontroversial yang tertulis dalam UU Ciptaker tersebut. Pasal-pasal yang diatur dalam Omnibus Law dinilai semakin merugikan pekerja karena hak-hak mereka seolah semakin dipangkas.

Berikut merupakan sejumlah pasal kontroversial yang dinilai semakin merugikan pekerja di Indonesia:

1. Upah Minimum Dihapus

Uang

Berbagai Sumber

Salah satu pasal paling kontroversial dalam UU Ciptaker ini adalah penghapusan upah minimum kota/kabupaten (UMK). DPR telah mengganti UMK dengan upah minimum provinsi (UMP).

Keputusan itu langsung mendapatkan penolakan dari para buruh karena dinilai membuat upah pekerja menjadi lebih rendah. Selain itu, penghapusan UMK dinilai menyalahi aturan dalam Undang-Undang Ketenagakerjaan Nomor 13 Tahun 2003. Dalam UU ini, ditegaskan jika tidak boleh ada pekerja yang mendapat upah di bawah upah minimum.

Adapun penetapan UMP dan UMK selama ini selalu ditetapkan oleh gubernur dengan memperhatikan rekomendasi dari dewan pengupahan provinsi dan bupati/wali kota. Pertimbangan lain penetapan UMK dan UMP juga mengacu pada perhitungan Kebutuhan Layak Hidup atau KLH.

2. Pesangon PHK Dipotong

Pasal selanjutnya yang menjadi kontroversi dalam UU Ciptaker adalah pesangon bagi pekerja yang PHK diturunkan dari 32 kali upah menjadi 25 kali upah. Rinciannya adalah 19 kali upah ditanggung pemberi kerja dan 6 kali upah ditanggung melalui program Jaminan Kehilangan Pekerjaan (JKP).

3. Rentan PHK Hingga Kontrak Seumur Hidup

PHK

Rawpixel

Pekerja semakin dirugikan oleh salah satu poin di Pasal 61 UU Ciptaker. Pasal ini mengatur bagaimana perjanjian kerja akan berakhir pada saat pekerjaan selesai.


Namun dalam pasal 61 A, tertulis ketentuan mengenai kewajiban bagi pengusaha untuk memberikan kompensasi kepada pekerja yang hubungan kerjanya berakhir. Aturan ini seolah semakin memperlihatkan ketimpangan relasi kuasa dalam pembuat kesepakatan.

Hal ini terjadi karena jangka waktu kontrak sepenuhnya akan berada di tangan pengusaha sehingga berpotensi membuat status kontrak pekerja menjadi abadi. Situasi tersebut bahkan disebut dapat membuat pengusaha bisa melakukan PHK sewaktu-waktu dengan bebas.

4. Waktu Istirahat Dipotong

Pemotongan waktu istirahat dalam UU Omnibus Law semakin memperburuk nasib pekerja. Dalam Pasal 79 ayat 2 poin b dijelaskan jika waktu istirahat mingguan adalah satu hari untuk enam hari kerja dalam satu minggu.

Tak sampai disitu, cuti panjang dua bulan per enam tahun juga dihapus dalam ayat 5 UU Ciptaker. Sebagai gantinya, cuti panjang akan diatur dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama.

Aturan ini kembali menunjukkan perbedaan jauh dengan UU Ketenagakerjaan. Pasalnya dalam UU Ketenagakerjaan, diatur secara detail terkait cuti atau istirahat panjang bagi pekerja yang telah bekerja selama enam tahun di perusahaan yang sama.

5. Jam Lembur Lebih Lama

Pekerja

Unsplash/You X Ventures

Nasib pekerja seolah semakin jauh dari sejahtera setelah DPR memperpanjang waktu jam lembur melalui Omnibus Law. Dalam draf Omnibus Law Bab IV tentang Ketenagakerjaan Pasal 78, dijelaskan waktu kerja lembur hanya dapat dilakukan paling banyak empat jam dalam sehari dan 18 jam seminggu.

Ketentuan tersebut rupanya lebih panjang dari yang diatur dalam UU Nomor 13 Tahun 2003. Pasalnya dalam UU tersebut, diatur jika kerja lembur dalam satu hari maksimal 3 jam dan 14 jam dalam satu minggu.

6. Tenaga Kerja Asing Gampang Direkrut

UU Omnibus Law ini akan membuat perusahaan di Indonesia semakin mudah dalam merekrut Tenaga Kerja Asing (TKA). Hal ini terlihat dalam Pasal 42 dimana izin bagi TKA menjadi lebih mudah. Situasi ini tentunya membuat banyak pekerja dari dalam negeri menjadi terancam dan sulit mendapatkan pekerjaan.

Padahal dalam Perpres Nomor 20 Tahun 2018, TKA harus mengantongi beberapa perizinan seperti Rencana Penggunaan Tenaga Kerja Asing (RPTKA), Visa Tinggal Terbatas (VITAS), dan Izin Menggunakan Tenaga Kerja Asing (IMTA). Namun kini pengesahan RUU Omnibus Law akan mempermudah perizinan TKA, karena perusahaan yang menjadi sponsor TKA hanya perlu membutuhkan RPTKA saja.

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru