Pengamat Militer Bongkar Dugaan Alasan Awak KRI Nanggala Tak Berenang Selamatkan Diri
Dok. TNI AL
Nasional

Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi menganalisa soal alasan dibalik keputusan awak KRI Nanggala-402 untuk tetap bertahan disaat kapal selam mengalami masalah hingga dinyatakan tenggelam.

WowKeren - Kapal Selam KRI Nanggala-402 milik TNI dinyatakan tenggelam setelah sebelumnya hilang kontak sejak 21 April lalu. Saat ini, TNI dibantu Polri dan sejumlah pihak sedang melakukan proses pencarian terkait kapal tersebut.

Kepala Staf Angkatan Laut (KSAL) Laksamana Yudo Margono menegaskan bahwa tenggelamnya KRI Nanggala-402 bukan karena ledakan. Ia justru mengungkap adanya retakan pada bagian kapal.

"Bukan ledakan, kalau ledakan ambyar semua," terang Yudo dalam jumpa pers pada Sabtu (24/4). "Karena retakan jadi secara bertahap di bagian tertentu, dia turun ada fase-fase dari kedalaman 300 m, 400 m, 500 m ada keretakan. Kalau ledakan ini terdengar di sonar."

Setelah pengungkapan tersebut, beredar spekulasi di masyarakat terkait sikap awak KRI Nanggala. Banyak yang heran kenapa awak KRI Nanggala tidak keluar atau berenang menyelamatkan diri jika memang kapal sejak awal mengalami masalah.

Terkait hal tersebut, Pengamat militer dari Institute for Security and Strategic Studies (ISESS), Khairul Fahmi, mengungkap analisanya. Alasan pertama yang diungkap karena awak KRI Nanggala diduga mencari tahu lebih dulu penyebab kapal selam mereka bermasalah.

"Kenapa para awak tidak keluar menyelamatkan diri? Pertama, kita sampai hari ini belum tahu persis apa yang terjadi pada kapal ini hingga kemudian tenggelam (subsunk). Kefatalan bisa saja sudah terjadi sejak awal ketika komando operasi menyadari bahwa komunikasi dengan kapal telah terputus," kata Fahmi saat dihubungi Kumparan.com, 25 April.


Alasan lainnya adalah terkait tanggung jawab awak KRI Nanggala-402 yang merupakan prajurit terlatih dan telah disiapkan untuk mampu mengendalikan kapal bahkan dalam keadaan darurat, gangguan atau bahaya dalam pelayaran. Karena itu, para prajurit lebih memilih melakukan penanganan ketimbang keluar dan berenang menyelamatkan diri.

"Artinya, yang menjadi prioritas adalah mengatasi kedaruratan atau gangguan tersebut. Mereka punya waktu sepanjang cadangan oksigen masih tersedia untuk kemudian kembali ke pangkalan dengan selamat," ucap Fahmi. Ia menambahkan kalau opsi untuk berenang keluar bisa terjadi bila kondisi semakin memburuk dan kapal dalam kedalaman kurang dari 500 meter.

"Namun ketika kapal berada di posisi sangat dalam, tentu saja berusaha keluar dari kapal adalah pilihan yang konyol," ujar Fahmi. "Jadi jangan berandai-andai jika awak KRI Nanggala di kedalaman 700-850 meter berusaha keluar dan berenang ke permukaan, maka ada peluang selamat. Itu hampir mustahil. Baru sampai pada upaya membuka pintu kompartemen penyelamat saja sudah akan sangat fatal."

Fahmi menjelaskan kalau manusia akan sulit menoleransi tekanan air yang masuk bila katup dibuka. "Air akan dengan cepat membanjiri kapal dan mengakibatkan kefatalan. Apalagi di kedalaman, tekanan hidrostatis sangat tinggi, di atas ambang toleransi manusia hingga tingkat yang menghancurkan," terang Fahmi.

Dilansir dari Schmidt Ocean Institute, tekanan hidrostatis air meningkat sebanyak 1 atm setiap kedalaman 10 meter. Jika tekanan di udara adalah 1 atm, maka tekanan di kedalaman 700 meter adalah 70 atm. Sementara manusia hanya bisa bertahan pada tekanan sekitar 3 hingga 4 atm.

Jika tetap memaksakan berenang di kedalaman 700 meter disaat air masuk ke dalam kapal selam, maka kurang dari hitungan detik gendang telinga akan pecah, paru-paru akan mampat hingga menimbulkan rasa sakit luar biasa dan pecah serta diikuti oleh pembuluh darah dan organ seluruh tubuh yang ikut hancur.

(wk/riaw)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru