Makin Marak, Thrifting Baju Bekas Impor Ternyata Punya Sejumlah Dampak Negatif Ini
Pexels/Burst
SerbaSerbi

Aksi Kementerian Perdagangan memusnahkan pakaian bekas impor tengah menjadi sorotan. Hal ini akhirnya memunculkan topik tentang apa bahaya thrifting baju bekas impor.

WowKeren - Thrifting atau pembelian pakaian bekas tengah menjamur di kalangan masyarakat Indonesia. Kegiatan ini diminati oleh banyak orang karena mereka bisa mendapat pakaian berkualitas bagus dengan harga yang cukup murah.

Di tengah menjamurnya bisnis thrifting, baru-baru ini Kementerian Perdagangan (Kemendag) memusnahkan sejumlah besar pakaian bekas impor yang tersimpan di sebuah pergudangan di Karawang, Jawa Barat. Tindakan ini akhirnya menimbulkan pro kontra di kalangan masyarakat.


Pemusnahan ini bukan tanpa alasan. Menurut Veri Anggrijono selaku Direktur Jenderal Perlindungan Konsumen dan Tertib Niaga (PKTN) Kemendag, pakaian-pakaian tersebut terkontaminasi jamur yang dapat menyebabkan penyakit kulit.

Mirisnya, jamur tersebut tidak akan hilang dari pakaian meski telah dicuci berkali-kali. "Hasil pengecekan di lab terhadap pakaian (bekas) berasal impor mengandung jamur secara akumulasi oleh masyarakat akan berdampak mengganggu kesehatan walaupun sudah dicuci beberapa kali," ujar Veri sebagaimana dilansir dari liputan6.com, Rabu (21/9).

Berkaitan dengan hal ini, tim WowKeren telah merangkum beberapa dampak buruk thrift fashion yang patut diwaspadai. Apa sajakah itu? Simak informasi selengkapnya dalam artikel berikut ini:

(wk/eval)

1. Bisa Sebabkan Penyakit Kulit


Bisa Sebabkan Penyakit Kulit
Pxhere

Bahaya kesehatan akan mengintai mereka yang sering melakukan thrifting. Bagi konsumen, pembelian baju bekas berpotensi menyebabkan berbagai penyakit kulit.

Berdasarkan keterangan Menteri Perdagangan Zulkifli Hasan, sampel pakaian bekas impor yang telah diamankan terbukti mengandung jamur kapang. Kesimpulan ini didapat usai pihaknya melakukan pengujian di Balai Pengujian Mutu Barang.

Jamur kapang dapat menyebabkan berbagai masalah pada kulit seperti gatal-gatal dan reaksi alergi pada kulit, efek beracun iritasi hingga infeksi. Karena alasan itulah Zulkifli Hasan meminta masyarakat untuk menghindari kegiatan thrifting baju bekas impor.

"Dengan menghindari pemakaian pakaian bekas asal impor, konsumen dapat terhindar dari dampak buruk pakaian bekas dalam jangka panjang dan dapat melindungi industri dalam negeri," ujarnya sebagaimana dikutip dari finance.detik.com, Rabu (21/9).

Hal ini akan lebih berbahaya jika spora jamur terhirup hingga masuk ke dalam paru-paru karena dapat menyebabkan pneumokoniosis. Ini adalah kelainan yang terjadi akibat penumpukan debu dalam paru yang dapat menimbulkan rasa sesak.

Selain jamur, pakaian bekas juga memiliki beragam risiko lain seperti infeksi mikroba termasuk bakteri, parasit hingga infeksi virus. Akibatnya, konsumen berpotensi mengalami penyakit kulit seperti dermatitis, kudis dan penyakit jamur jika menggunakan pakaian bekas yang tidak dicuci.

Lantas, bagaimana jika kita terlanjur membeli dan memiliki banyak pakaian bekas impor? Jika tak ingin membuangnya, Anda harus mencuci, menyetrika dan mendisinfeksi pakaian-pakaian tersebut untuk mengurangi kemungkinan penyebaran penyakit kulit.

2. Rugikan Industri Tekstil Lokal


Rugikan Industri Tekstil Lokal
Pixabay/terimakasih0

Di sektor ekonomi, bisnis thrifting baju bekas impor dapat merugikan industri tekstil dalam negeri. Karena itu, Zulhas mengimbau masyarakat untuk membeli berbagai produk lokal.

Zulhas memaparkan, "Ini bisa merusak industri dalam negeri. Murah-murah kan kadang-kadang kalau dimasukkan kampung-kampung kan susah membedakan barang ini dari sini dari mana enggak tahu."

Koordinator Hubungan Industri Asosiasi Pertekstilan Indonesia (API) Andrew Purnama juga mengungkapkan kerisauan serupa. Dia menuturkan bahwa penjual pakaian bekas impor masih bisa mendulang keuntungan besar meski menjual barang dengan harga murah.

Hal ini bertolak belakang dengan jumlah modal dan keuntungan yang harus dikeluarkan oleh pengusaha garmen dan tekstil lokal. Apalagi, mereka juga diwajibkan untuk membayar PPN sebesar 10 persen.

"Apabila industri hilirnya merugi, otomatis industri hulunya akan kehilangan daya beli. Ini akan merugi semua. Ini kondisi yang sangat mengkhawatirkan untuk IKM dan industri dalam negeri," beber Andrew sebagaimana dilansir dari BBC News Indonesia.

Jika kondisi ini terus dibiarkan, dampak terbesar yang mungkin terjadi adalah pemutusan hubungan kerja (PHK) terhadap buruh tekstil dan garmen lokal. Hal ini pun menjadi perhatian serius Wakil Ketua DPR Bidang Koordinator Industri dan Pembangunan Rachmat Gobel.

"Impor pakaian bekas pada akhirnya membuat industri tekstil berkurang permintaan. Ini bisa mengganggu investasi dalam industri tekstil," ujar Rachmat pada BBC News Indonesia.

3. Jadi 'Sarana Pembuangan' untuk Negara Maju


Jadi 'Sarana Pembuangan' untuk Negara Maju
Pexels/Tom Fisk

Mungkin tak banyak yang sadar, namun impor pakaian bekas sama dengan menjadikan Indonesia sebagai "negara penampung sampah". Pasalnya, pakaian-pakaian itu adalah barang yang tak lagi dipakai oleh masyarakat di negara yang lebih maju.

Perlu diketahui bahwa kain membutuhkan waktu yang lama untuk terurai. Proses dekomposisinya bahkan membutuhkan waktu selama bertahun-tahun, tergantung dari bahannya. Bahkan bahan sintetis bisa membutuhkan waktu selama 20-200 tahun untuk benar-benar terurai.

Terkait hal ini, Rachmat Gobel berkomentar, "Jadi kita ketiban ketambahan sampah. Dan sampah tekstil itu tak mudah dimusnahkan. Karena ini sintetis dan mengandung bahan kimia."

Hal ini menjadi lebih miris jika kita melihat catatan Sistem Informasi Pengelolaan Sampah Nasional (SIPSN) Kementerian Lingkungan Hidup dan Kehutanan pada tahun 2021. Pasalnya, persentase sampah kain mencapi angka fantastis sebesar 2.633 ton atau 2,6% dari 29 juta ton sampah di Indonesia.

Di atas segalanya, kegiatan thrifting baju bekas impor dapat melukai martabat bangsa Indonesia. "Ini yang terpenting, bangsa kita bisa menjadi bangsa yang tidak memiliki dignity, martabat. Ini soal harkat dan martabat kita sebagai bangsa. Ini juga berarti kita menjadi bangsa yang merendahkan kreativitas sumber daya manusia," tandasnya.

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru