Kirim Surat Soal Efektivitas Rapid Test ke Gugus Tugas, Ini Penjelasan Ahli Patologi Klinik
Nasional

Surat yang dikirimkan oleh PDS PatKlin pada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pusat soal kriteria dan persyaratan perjalanan orang di masa kebiasaan baru telah beredar di media sosial.

WowKeren - Perhimpunan Dokter Patologi Klinik dan Kedokteran Laboratorium Indonesia (PDS PatKlin) menyarankan agar pemerintah tidak jadikan pemeriksaan rapid test dan PCR virus SARS-CoV-2 sebagai syarat perjalanan orang.

Melalui surat nomor 166/PP-PATKLIN/VII/2020 tertanggal 6 Juli 2020, PDS PatKlin menanggapi Surat Edaran Gugus Tugas COVID-19 tentang kriteria dan persyaratan perjalanan orang di masa kebiasaan baru. Dimana Surat Edaran Nomor 9 tanggal 26 Juni 2020 tentang perubahan SE 7/2020 itu mensyaratkan hasil negatif rapid test dan PCR untuk setiap individu yang akan memanfaatkan transportasi umum.

Surat tanggapan tersebut sebenarnya hanya ditujukan kepada Ketua Gugus Tugas Percepatan Penanganan COVID-19 Pusat dan bukan untuk disebarluaskan ke publik. Sayangnya, surat tersebut malah beredar luas di media sosial hingga saat ini.

“Itu di luar dugaan, ternyata sampai menyebar di medsos. Saya sendiri juga kaget," ujar Ketua Umum PDS PatKlin, Dr dr Aryati melalui telepon, Senin (13/7). "Sampai sore ini banyak sekali pertanyaan yang saya terima dan saya banyak dihujat."

Surat tanggapan atas SE Gugus Tugas COVID-19 tertanggal 26 Juni 2020 itu sebenarnya berangkat dari pengamatan dan hasil penelitan dokter patologi klinis di PDS PatKlin yang menilai bahwa kebijakan itu kurang efektif dan cenderung berdampak bahaya dan merugikan.


Pada poin pertama surat tanggapan yang ditandatangani dr Aryati tertanggal 6 Juli 2020 lalu itu dengan cukup jelas menyarankan agar pemerintah tidak menerapkan syarat hasil negatif rapid test Antibodi dan swab PCR sebagai syarat perjalanan orang. Alasannya, berdasarkan survei dan penelitian yang dilakukan PDS PatKlin, pemeriksaan tes swab PCR memiliki sensitivitas 60-80 persen sehingga masih bisa terjadi hasil negatif palsu.

ryati menekankan, waktu yang dibutuhkan sejak pengambilan swab pun bervariasi antara 2 hari sampai 3 minggu. “Artinya begini, kalau hasil PCR test itu baru keluar katakanlah sampai dua minggu, kan ada kemungkinan orang yang tadinya memang positif kadar virus di tubuhnya sudah tidak ada. Atau sebaliknya, yang hasilnya negatif setelah dua minggu ternyata terpapar,” katanya.

Adapun kemungkingan kedua yang terjadi adalah orang yang dinyatakan negatif menurut tes ternyata sebenarnya terjangkit virus, ini akan membahayakan penumpang transportasi umum lainnya ketika orang itu akhirnya diizinkan untuk melakukan perjalanan.

Sebaliknya, bila kemungkinan pertama yang terjadi, dinyatakan positif padahal sudah negatif, orang bersangkutan mengalami kerugian karena harus menunda perjalanan padahal sebenarnya pada saat itu virus di dalam tubuhnya sudah tidak ada dan dia sudah aman untuk melakukan perjalanan.

Artinya, penerapan rapid test antibodi sebagai syarat perjalanan orang menurut Aryati kurang tepat. Selain berbahaya karena lebih banyak kemungkinan terjadi hasil nonreaktif palsu, itu juga merugikan orang yang dinyatakan reaktif sehingga tidak bisa melakukan perjalanan.

Menurutnya, akurasi tes deteksi Covid-19 dengan metode swab real-time PCR memang jauh lebih tinggi karena rapid test hanyalah alat screening yang menurutnya selama ini penggunaannya juga tidak sesuai ketentuan yang diatur dalam pedoman Kementerian Kesehatan.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru