PPKM Mikro Diberlakukan Mulai 9 Februari, Epidemiolog: Pemerintah Suka Bermain Istilah
Nasional

Epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo turut menyoroti soal keputusan pemerintah untuk menerapkan PPKM mikro yang dimulai pada Selasa (9/2) mendatang.

WowKeren - Pemerintah memutuskan untuk menerapkan pemberlakuan pembatasan kegiatan masyarakat (PPKM) skala mikro. PPKM skala mikro ini sedianya bakal mulai diterapkan pada Selasa (9/2) mendatang.

Menyoroti keputusan tersebut, epidemiolog Universitas Airlangga (Unair) Windhu Purnomo menilai jika istilah-istilah kebijakan dalam penanganan COVID-19 definisinya tidak jelas. "Jujur saja, saya sebetulnya enggan berkomentar tentang kebijakan-kebijakan yang menggunakan istilah-istilah yang definisinya tidak jelas," ujarnya dilansir Detikcom, Sabtu (6/2).

"Apa yang dimaksud dengan PPKM berskala mikro? Apa istilah ini sama dengan karantina wilayah berskala mikro?" lanjutnya. "Apakah sekedar nama lain dari istilah semacam Kampung Tangguh?"

Windhu kemudian mempertanyakan apa indikator penerapan PPKM mikro, kemudian mana saja wilayah yang patut dikarantina. Ia pun menilai kebijakan itu bisa menyesatkan karena ketidakmampuan mendeteksi akibat testing yang sangat lemah.>/p>

"Kalau yang dimaksud adalah karantina wilayah tapi berskala mikro, berarti ada wilayah mikro RT RW desa-kelurahan yang dikarantina, ada yang tidak dikarantina. Apa indikator penetapan wilayah-wilayah mikro yang akan dikarantina dan yang tidak?," paparnya. "Bukan kah dalam kondisi testing rate dan contact tracing yg sangat kecil, tidak robust, di Indonesia 3% populasi saja belum sampai kita seperti punya peta buta sehingga tidak bisa menetapkan wilayah mikro yang berisiko tinggi atau rendah."


"Apakah wilayah mikro yang dianggap berisiko rendah karena tidak ada kasus atau kasusnya sedikit memang benar-benar tidak ada kasus atau kasus sedikit?" imbuhnya. "Itu bisa sangat menyesatkan, karena bisa saja itu semu karena kita tidak mampu mendeteksinya akibat testing yang sangat lemah."

Windhu menambahkan jika memang suatu wilayah dengan testing rate lemah, maka seharusnya pemerintah memberlakukan karantina makro. "Sebaliknya jika testing rate semakin tinggi baru bisa dilakukan karantina atau PPKM mikro," lanjutnya.

"Sesungguhnya bila testing rate makin lemah, karantina wilayah yg diberlakukan harus makin makro sedikitnya tingkat kota kabupaten, atau tingkat propinsi, pulau atau nasional," terangnya. "Makin tinggi testing rate maka makin bisa dilakukan karantina wilayah yang mikro, bahkan sampai tingkat RT-RW, contoh yg dilakukan di Hongkong, pemerintahnya bisa melakukan lockdown tingkat mikro yaitu blok-blok karena testing ratenya mencapai lebih dari 85% populasinya."

Untuk itu, jika pengertian PPKM skala mikro dalam hal ini semacam Kampung Tangguh selama ini, maka ia menilai hal itu bisa dioptimalkan. Sebab menurutnya dengan PPKM mikro, sesungguhnya hal itu hanya menegaskan implementasi kampung tangguh yang selama ini tidak berfungsi maksimal.

Windhu pun menyarankan agar pemerintah tidak bermain-main dengan istilah-istilah namun tidak sesuai dengan substansi. Namun istilah itu harus sesuai dengan prinsip pemutusan rantai penularan COVID-19 secara ilmiah.

"Seharusnya kita tidak hanya suka bermain istilah atau nama, tapi betul-betul substansinya harus sesuai dengan prinsip-prinsip pemutusan rantai penularan berdasarkan keilmuan public health, epidemiologi, yaitu betul-betul membatasi mobilitas dan interaksi warga," pungkasnya. "Mobilitas hanya boleh untuk kepentingan yang sangat esensial, dan itu pun harus 100% menjalankan protokol kesehatan."

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait