Jaksa Agung Buka Opsi Hukuman Mati untuk Koruptor, Komnas HAM Malah Desak Dihapus Total
PxHere
Nasional

Kajian hukuman mati untuk pelaku korupsi kembali digaungkan dan memicu sejumlah reaksi. Namun opsi dari Jaksa Agung ini malah 'dimentahkan' oleh peneliti ICW hingga Komnas HAM.

WowKeren - Kajian hukuman mati untuk koruptor kembali bergulir. Kali ini disampaikan oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin yang merasa prihatin dengan besarnya kerugian yang ditimbulkan dari aksi korupsi, terutama atas kasus-kasus rasuah yang ditangani pihaknya seperti Jiwasraya dan Asabri.

"Sedang mengkaji kemungkinan penerapan hukuman mati guna memberikan rasa keadilan dalam penuntutan perkara dimaksud," ungkap Burhanuddin, 28 Oktober 2021. Namun tentu saja kajian ini akan didasarkan pada hukum positif yang berlaku, nilai hak asasi manusia (HAM), hingga terkait kepastian perampasan kembali harta kekayaan para pelaku korupsi.

"Agar hasil rampasan juga dapat bermanfaat langsung dan adanya kepastian baik terhadap kepentingan pemerintah maupun masyarakat yang terdampak korban dari kejahatan korupsi," ujar Burhanuddin. "Sangat memprihatinkan kita bersama dimana tidak hanya menimbulkan kerugian negara (kasus Jiwasraya Rp16,8 triliun dan Asabri Rp22,78 triliun) namun sangat berdampak luas baik kepada masyarakat maupun para prajurit."

Meski demikian, wacana Burhanuddin ini malah mendapat reaksi miring dari sejumlah pihak. Seperti Peneliti Indonesia Corruption Watch (ICW) Kurnia Ramadhana yang menilai hukuman mati bagi koruptor acapkali hanya menjadi jargon politik alih-alih serius ditunjukkan demi memberantas korupsi.

"Bagi ICW, pemberian efek jera akan terjadi jika diikuti dengan kombinasi hukuman badan dan pemiskinan koruptor, mulai dari pemidanaan penjara, pengenaan denda, penjatuhan hukuman uang pengganti, dan pencabutan hak politik. Bukan dengan menghukum mati para koruptor," tutur Kurnia, mencontohkan sanksi yang tepat untuk para tikus berdasi ketimbang dihukum mati.


Kurnia pun menyoroti keteguhan aparat hukum dalam memberantas korupsi, termasuk dari Kejaksaan Agung. Kurnia lantas mengutip kembali bagaimana tindakan Kejagung kala oknum internalnya, Pinangki Sirna Malasari, terlibat dalam kasus suap.

"Saat itu, Kejaksaan Agung menuntut Pinangki dengan hukuman yang sangat rendah. Dari sana saja, masyarakat dapat mengukur bahwa Jaksa Agung saat ini tidak memiliki komitmen untuk memberantas korupsi," terangnya.

Sementara itu Anggota Komnas HAM Sandrayati Moniaga menilai Indonesia sudah tidak seharusnya menjatuhi hukuman mati karena dianggap tidak konstitusional. "Jadi hukuman mati itu inkonstitusional, tapi kalau untuk saya setop total," tutur Sandrayati.

Pasalnya hukuman mati berlawanan dengan hak hidup yang tercantum di UUD 1945 Pasal 28 huruf a, yakni setiap warga berhak untuk mempertahankan hidup dan kehidupannya. Sedangkan di huruf g dipertegas bahwa setiap orang memiliki hak untuk bebas dari penyiksaan.

"Saya rasa hukuman mati merupakan hukuman yang keji dan tidak manusiawi," katanya. "Hal tersebut tertera jelas dalam konferensi internasional antipenyiksaan serta hak sipil dan politik."

"Seharusnya kita menghapuskan hukuman mati secara total. Karena kita adalah anggota PBB, dan Indonesia menjadi anggota dewan HAM," pungkasnya.

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru