Biografi Idris Sardi

news-detailsIdris Sardi adalah maestro violis sekaligus musisi legendaris Indonesia. Idris Sardi lahir di Jakarta, pada 7 Juni 1938. Ia lahir dari keluarga berdarah seni. Ayahnya, M. Sardi, merupakan pemain biola Orkes RRI Studio Jakarta. Sementara ibunya, Hadidjah, adalah seorang bintang film.

Pada usia enam tahun, si sulung dari delapan bersaudara ini pertama kali mengenal biola. Lalu dua tahun kemudian, Idris beruntung bisa mendapatkan kesempatan belajar menggesek biola pada Nicolai Vorfolomeyeff, seorang musisi dari Rusia yang kala itu juga turut memimpin Orkes RRI Jakarta.

Idris menerima sambutan hangat pada pemunculannya yang pertama di Yogyakarta tahun 1949. Ia dijuluki anak ajaib karena mahir bermain biola di usia yang masih belia.

Ayah Idris menyadari kalau kemampuan putranya kelak mampu melebihi dirinya. Karenanya, ia mendorong Idris untuk semakin menekuni permainan biola.

Peluang Idris untuk meraih sukses semakin terbuka dengan dibukanya Sekolah Musik Indonesia (SMIND) di Yogyakarta, 1952. Sekolah itu menerima siswa baru dengan persyaratan lulusan SMP atau yang sederajat.

Sayangnya, pada saat itu, Idris baru berusia 14 tahun, sehingga ia belum lulus SMP. Namun karena permainannya yang luar biasa, ia diterima sebagai siswa SMIND. Ia bersama Suyono (almarhum), yang lebih tua dua tahun, merupakan dua siswa SMIND yang mempunyai bakat istimewa.

Pada usia itu pula, orkes siswa SMIND pimpinan Nicolai Varvolomejeff mempercayai Idris untuk duduk sebagai concert master, bersanding dengan Suyono. Rata-rata siswa SMIND saat itu berusia di atas 16 tahun.

Selain Nicolai Varvolomejeff, beberapa nama yang sempat memoles bakat Idris adalah George Setet (1952-1954) di Yogyakarta dan Henri Tordasi (1954) di Jakarta. Keduanya berasal dari Hongaria, yang dikenal sebagai negara yang mempunyai para pemain biola unggulan.

Pada 1953, sang ayah, M. Sardi, meninggal dunia. Idris yang saat itu baru menginjak usia 16 tahun harus menggantikan kedudukan sang ayah sebagai violis pertama dari Orkes RRI Studio Jakarta pimpinan Saiful Bahri. Ketika itu, ia diberi honor Rp 1.400.

Sejak saat itu, nama Idris Sardi sebagai seorang violis semakin menggema, tak hanya di Indonesia, tetapi juga di mancanegara. Ia juga mulai menekuni musik biola serius, idolisme Heifetz. Padahal waktu itu, belum ada musik serius yang hidup sehat di Indonesia.

Pada era 60-an, Idris beralih dari dunia musik biola serius, idolisme Heifetz, ke komersialisasi Helmut Zackarias yang mengaung-ngaung. Akibatnya, para pengamat musik menudingnya sebagai pelacur musik karena telah berpindah dari musik serius ke musik populer (komersial).

Namun, Idris membela diri karena dia juga harus realistis. "Itu satu-satunya jalan pada waktu itu untuk tetap hidup dari profesi saya," kata Idris.

Tetapi, seandainya dulu Idris Sardi mengasah kemampuan biola klasiknya pada tingkat master dengan Jascha Heifetz atau Yahudi Menuhin, ia bisa menjadi pemain biola kelas dunia. Namun, meski begitu, ia tetap setingkat dengan Zacharias.

Selama berkarir sebagai pemain seni, Idris Sardi sukses sebagi ilustrator dan penata musik film. Ia mendapat Piala Citra sebagai Penata Musik Terbaik dalam beberapa film, di antaranya "Pengantin Remaja" (1971), "Perkawinan" (1973), "Cinta Pertama" (1974), dan "Doea Tanda Mata" (1985).

Di luar karir bermusiknya, Idris adalah ayah dari pemain film Santi Sardi dan Lukman Sardi, dari pernikahannya dengan Zerlita (bercerai). Setelah perceraiannya dengan Marini, ia menikah lagi untuk ketiga kalinya dengan dengan Ratih Putri.

Idris Sardi juga mempunyai seorang murid yang telah sukses menjadi violis perempuan papan atas Indonesia, Maylaffayza. Menurut muridnya itu, gesekan biola Idris mempunyai irama yang sukar diikuti. "Termasuk menampilkan presisi ritmik dan penentuan kelincahan dalam pasase cepat," katanya.

Idris Sardi meninggal dunia pada 28 April 2014 pukul 07:25 WIB di Rumah Sakit Meilia, Cibubur dalam usia 75 tahun. Ia sebelumnya menderita sakit lambung dan liver sejak Desember 2013.

Sebelum meninggal, Idris sempat memberikan pendapatnya tentang musik Indonesia dewasa ini. Ia mengingatkan generasi muda agar selalu sadar budaya lokal di tengah gempuran arus industri musik dunia yang begitu kuat.

"Saya tidak mau menyalahkan anak-anak muda, karena mereka itu korban zaman," kata Idris. "Ya, cuma terkadang mereka lupa."

"Seharusnya, setelah memperoleh kesuksesan, mereka kembali lagi ke titik awal bagaimana dia mengembangkan bakatnya dengan mengembangkan budaya Indonesia," imbuh Idris. "Akan sangat luar biasa jika mereka sadar budaya kita, terminal musik dunia ini di Indonesia."