Soal Pengesahan RKUHP, Komnas HAM Minta Jokowi Pikir Ulang Sebelum Tanda Tangan
Nasional

Komisioner Komnas HAM Choirul Anam meminta agar Presiden Jokowi tidak terburu-buru untuk meneken RKUHP yang dirancang oleh pemerintah. Pasalnya, ia menilai jika dalam RKUHP tersebut masih memiliki banyak poin-poin yang tidak tepat pada tempat.

WowKeren - Rancangan Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (RKUHP) yang masih dikerjakan oleh Pemerintah mendapat kecaman dari berbagai kalangan. Bahkan tak sedikit dari masyarakat yang menandatangani petisi agar Presiden Joko Widodo menolak RKUHP tersebut.

Salah satunya Komnas HAM, mereka meminta agar pemerintah dan DPR untuk menunda pengesahan RKUHP yang ditolak oleh masyarakat. Menurut Komisioner Komnas HAM bidang Pengkajian dan Penelitian, Choirul Anam, sejumlah pasal yang ada di dalam RKUHP masih bermasalah.

Menurut kami (Komnas HAM), bijak kalau ini ditunda dan diperbaiki, tidak segera disahkan," ujar Choirul dalam konferensi pers di Kantor Komnas HAM, Jakarta, Kamis (19/9). "Kalau memang ini segera dijadwalkan di DPR, kami juga berharap presiden Jokowi tidak segera menandatangani."

Choirul menuturkan jika RKUHP versi 15 September 2019 masih meninggalkan persoalan. Pertama, soal paradigma RKUHP berbeda dengan prinsip HAM menurut hukum internasional. Dalam konteks pelanggaran HAM berat misalnya, kejahatan itu seharusnya bukan dibebankan kepada perorangan.


Pelanggaran HAM berat diproduksi oleh kekuasaan atau kebijakan yang sah atau tidak di mana korbannya adalah masyarakat sipil. "Paradigma dalam KUHP yang baru ini meletakkan pelanggaran HAM berat menjadi kejahatan perorangan. Itu serius sekali salahnya," kata Choirul.

Lebih lanjut Komisioner Komnas HAM itu menjelaskan jika elemen dari kejahatan pelanggaran HAM berat tidak bisa disamakan dengan kejahatan biasa. Sebab kejahatan itu harus dipertanggungjawabkan oleh pembuat kebijakan.

"Oleh karena itu, pelanggaran HAM berat tidak bisa disamakan dengan pemidanaan pada tindak pidana biasa," jelasnya. Tak hanya pasal pelanggaran HAM berat, dalam RKUHP tersebut juga belum bisa memberikan kepastian hukum karena memuat frasa-frasa yang menimbulkan multitafsir atau masih ada ruang yang tidak memungkinkan kepastian hukum.

"Misalnya frasa-frasa dalam delik-delik keagamaan, yakni terkait 'perasaan', 'menimbulkan kegaduhan', dan frasa-frasa dalam living low," kata Choirul. Kemudian ia menyampaikan jika penerapan fungsi hukum pidana "ultimatum remidium" dalam RKUHP masih kurang tepat dalam beberapa pasal.

Karena banyak persoalan sosial yang seharusnya dapat diselesaikan dengan hukuman lain namun malah justru dikenakan sanksi pidana. "Hal ini seolah bertolak belakang terhadap beberapa jenis tindak pidana terkait pelanggaran HAM berat, nerkotika, terorisme, dan pencucian uang yang justru mengalami pengurangan pemidanaan," tuturnya.

(wk/wahy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait