Faktor-Faktor yang Berperan Dalam Kecelakaan Lion Air JT-610 Terkuak
Nasional

Intip bocoran hasil investigasi yang dirilis Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) terkait jatuhnya pesawat Lion Air JT 610, hampir satu tahun setelah tragedi terjadi.

WowKeren - Tragedi jatuhnya pesawat Lion Air JT610 Boeing 737 Max 8 di Laut Jawa pada satu tahun lalu, tepatnya 29 Oktober 2018, masih menjadi luka tersendiri bagi dunia penerbangan Indonesia. Diketahui, pesawat dengan rute Jakarta-Pangkal Pinang tersebut kala itu mengangkut 189 orang.

Satu tahun setelah tragedi tersebut terjadi, Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) akhirnya merilis hasil investigasinya. Melansir DW Indonesia, kantor berita internasional Reuters mendapatkan transkrip slide yang dipresentasikan oleh para pejabat Indonesia kepada kerabat korban kecelakaan pesawat Lion Air JT-610 pada Rabu (23/10) kemarin.

Rencananya, laporan lengkap baru akan dirilis pada hari ini (25/10). Menurut kesimpulan pejabat KNKT, terdapat 9 faktor yang berkontribusi atas kecelakaan tersebut.

Yang pertama adalah selama desain dan sertifikasi Boeing 737-8 (MAX), dibuat asumsi terkait respons pilot terhadap kerusakan. Meski konsisten dengan pedoman industri saat ini, asumsi ini ternyata tidak benar.

Lalu yang kedua, perangkat lunak yang mengontrol hidung pesawat (MCAS) bergantung pada sensor tunggal dan dinyatakan tepat serta memenuhi semua persyaratan sertifikasi. Sedangkan yang ketiga, MCAS pada pesawat dirancang untuk bergantung sepenuhnya pada sensor Angle of Attack (AOA). Hal ini membuat MCAS rentan terhadap input yang salah dari sensor AOA.


AOA sendiri adalah parameter kunci dalam penerbangan yang menunjukkan sudut antara sayap pesawat dan arus udara yang mengalir ke arah pesawat. Apabila sudut ini terlalu tinggi, maka pesawat bisa saja mandek atau kehilangan daya angkat.

Faktor keempat adalah tidak adanya panduan tentang MCAS atau penggunaan trim yang lebih rinci dalam manual penerbangan dan sewaktu pelatihan pilot. Hal ini makin menyulitkan kru penerbangan dalam merespons MCAS yang bekerja secara otomatis.

Sedangkan yang kelima adalah peringatan AOA DISAGREE tidak diaktifkan dengan benar selama penerbangan Boeing 737-8 (MAX). Akibatnya, peringatan ini tidak muncul selama penerbangan dengan sensor AOA yang salah dikalibrasi.

Yang keenam, sensor pengganti AOA yang dipasang pada pesawat yang mengalami kecelakaan telah salah dikalibrasi selama perbaikan sebelumnya. Kalibrasi yang salah ini tidak terdeteksi selama perbaikan.

Lalu yang ketujuh, investigasi tidak dapat menentukan bahwa uji pemasangan sensor AOA telah dilakukan dengan benar, namun kesalahan kalibrasi tidak terdeteksi. Yang kedelapan adalah kurangnya dokumentasi terkait penerbangan pesawat dan catatan perawatan tentang stick shacker dan penggunaan Runaway Stabilizer NNC yang terus-menerus menunjukkan bahwa informasi ini tidak tersedia bagi kru pemeliharaan di Jakarta dan juga bagi kru kecelakaan.

Lalu yang terakhir, sejumlah peringatan, aktivasi MCAS yang terus berulang dan gangguan komunikasi dengan pihak Air Traffic Control tidak dapat dikelola secara efektif. Hal ini disebabkan oleh sulitnya situasi dan kurangnya penanganan manual, eksekusi Non-Normal Checklist (NCC) - yang merupakan prosedur untuk memecahkan masalah - serta komunikasi awak pesawat, mengarah pada tidak efektifnya aplikasi Crew Resource Management yaitu metode koordinasi antarpilot yang dirancang untuk memperbaiki respons terhadap kesalahan dan mengurangi stres.

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait