Presiden Lebanon Tahu Soal Ribuan Ton Amonium Nitrat di Beirut Tapi Klaim Tak Punya Tanggung Jawab
Getty Images
Dunia

Presiden Michael Aoun mengatakan dia telah diberitahu tentang ribuan ton senyawa kimia itu sekitar tiga pekan yang lalu, namun ia tak memiliki otoritas atas pelabuhan.

WowKeren - Presiden Lebanon, Michel Aoun, mengakui bahwa dia mengetahui tentang persediaan 2.750 ton amonium nitrat yang disimpan di pelabuhan Beirut, yang akhirnya meledak pada 4 Agustus lalu dan menewaskan ratusan orang.

Dilansir dari CNN, Aoun mengatakan dia telah diberitahu tentang ribuan ton senyawa kimia itu sekitar tiga pekan yang lalu, dan segera memerintahkan badan-badan militer dan keamanan untuk melakukan upaya apapun yang diperlukan. Namun tanggung jawabnya berakhir ketika dia memerintahkan pemindahan bahan kimia itu lantaran ia mengatakan bahwa dia tidak memiliki otoritas atas pelabuhan.

"Bahannya (amonium nitrat) sudah ada selama tujuh tahun, sejak 2013. Mereka bilang, itu berbahaya dan saya tidak bertanggung jawab. Saya tidak tahu di mana itu ditempatkan. Saya bahkan tidak tahu tingkat bahayanya. Saya tidak punya kewenangan untuk berurusan langsung dengan pelabuhan," ujarnya dalam konferensi pers.

Amonium nitrat adalah bahan kimia yang digunakan dalam pupuk dan bahan peledak. Bahan kimia yang meledak di Beirut itu dibawa oleh kapal kargo MV Rhosus yang melakukan perjalanan dari Georgia ke Mozambik pada 2013. Karena tidak dapat membayar bea pelabuhan dan kapal dilaporkan bocor, Rhosus akhirnya disita oleh pemerintah Lebanon.


Pengakuan Aoun ini muncul setelah terungkapnya sebuah dokumen yang menyatakan para pejabat pemerintah telah diperingatkan setidaknya sebanyak sepuluh kali tentang persediaan 2.750 ton amonium nitrat yang hampir tujuh tahun disimpan di pelabuhan. Salah satu pejabat senior bea cukai, Kolonel Joseph Skaff, menulis kepada departemen anti-penyelundupan otoritas bea cukai. Skaff memperingatkan bahwa material yang masih berada di atas kapal sangat berbahaya dan mengancam keselamatan masyarakat.

Dilansir dari Reuters pada Rabu (12/8), sebuah laporan oleh Direktorat Jenderal Keamanan Negara tentang risiko ledakan, termasuk referensi yang mengarah ke surat pribadi, sebelumnya telah dikirim ke Perdana Menteri Hassan Diab dan Presiden Lebanon pada 20 Juli lalu. Seorang pejabat keamanan senior mengatakan bahwa surat itu meringkas temuan penyelidikan yudisial yang diluncurkan pada Januari, yang menyimpulkan bahwa bahan kimia tersebut perlu segera diamankan.

"Ada bahaya bahwa bahan ini, jika dicuri, dapat digunakan dalam serangan teroris," kata pejabat tersebut. "Di akhir penyelidikan, Jaksa Agung (Ghassan) Oweidat menyiapkan laporan akhir yang dikirim ke pihak berwenang. Saya memperingatkan mereka bahwa bahan ini bisa menghancurkan Beirut jika meledak."

Di sisi lain, hingga kini tim penyelamat masih membersihkan puing-puing bekas ledakan untuk menemukan siapa pun yang masih hidup setelah ledakan pelabuhan yang terjadi pada Selasa kemarin. Rumah sakit di ibu kota Lebanon dipenuhi dengan para korban yang terluka. Rumah sakit di sana mulai merawat banyak korban, bahkan sampai harus dirawat di lorong. Beberapa korban juga ada yang dirujuk rumah sakit lain di luar Beirut.

Ledakan tersebut mengakibatkan 160 orang lebih meninggal dunia dan lima ribu orang menderita luka-luka. Gubernur Beirut, Marwan Abboud, menyatakan bahwa jumlah kerugian akibat ledakan dahsyat itu ditaksir mencapai Rp217.5 triliun. Abboud mengatakan sebanyak 300 ribu penduduk Beirut kehilangan tempat tinggal karena rusak terkena dampak ledakan.

(wk/luth)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru