Indonesia-Australia Bikin Proyek Modifikasi Nyamuk Penyebar DBD, Untuk Apa?
Nasional

Para peneliti Indonesia bersama Australia melakukan penelitian untuk memodifikasi nyamuk Demam berdarah dengue (DBD). Penelitian tersebut dilakukan di Yogyakarta.

WowKeren - Demam berdarah dengue (DBD) telah menjadi persoalan yang dikhawatirkan di tengah pandemi corona. Tak hanya di Indonesia namun juga di seluruh dunia.

Baru-baru ini, sebuah penelitian bertahun-tahun yang dilakukan para peneliti Australia dan Indonesia di Yogyakarta berhasil memodifikasi nyamuk agar tak menularkan virus demam berdarah ke manusia.

Adalah para peneliti yang tergabung dalam Program Nyamuk Dunia (World Mosquito Program) yang melakukan modifikasi pada nyamuk untuk mengurangi demam berdarah. Hasil dari uji coba tersebut telah berhasil hingga 77 persen.

Menurut mereka, temuan ini akan menghasilkan 'dampak yang besar.' "Dalam kesehatan masyarakat, 77 persen adalah dampak yang sangat, sangat besar," kata Cameron Simmons, yang mengepalai World Mosquito Program di Universitas Monash, Australia, kepada ABC News. "Jika ini adalah vaksin untuk COVID-19, kami akan senang dengan dampak 77 persen. Kami sangat senang."

Para peneliti gabungan World Mosquito Program sendiri telah menghabiskan tiga tahun untuk memodifikasi nyamuk lokal di Yogyakarta. Selama riset, mereka mencampurkan telur nyamuk dengan bakteri yang diketahui dapat mencegah mereka menularkan virus demam berdarah ke manusia.

Modifikasi itu dilakukan dengan menginfeksi nyamuk Aedes aegypti dengan bakteri Wolbachia. Bakteri Wolbachia ini berguna untuk membuat virus dengue, yang jadi biang keladi demam berdarah, menjadi kelaparan.

“Dengan adanya bakteri di sana, hal itu dapat mencegah virus berkembang, dan (bakteri) dapat menimbulkan respons kekebalan pada nyamuk yang melindungi terhadap virus," kata Katie Anders, direktur penilaian dampak di World Mosquito Program dilansir The Guardian.

Anders menambahkan, para peneliti sebenarnya tidak begitu paham mengapa Wolbachia dapat menghambat penularan demam berdarah. Menurutnya, bakteri itu bersaing dengan virus di dalam tubuh nyamuk untuk mendapatkan sumber daya yang dibutuhkan untuk bereplikasi.


Menurut laporan The Guardian, para peneliti berhasil memodifikasi 6 juta nyamuk di Yogyakarta di awal riset. Kemudian jutaan nyamuk itu disebar di 24 wilayah di Yogyakarta dengan total area 13 km persegi.

Sebagian wilayah di Yogyakarta sengaja tidak diberikan nyamuk modifikasi itu untuk kontrol riset. Wilayah yang tak kebagian nyamuk modifikasi ini hanya menggunakan metode pencegahan biasa untuk demam berdarah, seperti fogging.

Peneliti juga menguji lebih dari 8.000 peserta dari dalam area uji coba yang mengalami demam akut. Partisipan ini terdiri dari rentang usia antara 3-45 tahun.

Mereka mudian mengukur keefektifan bakteri dalam mengurangi kejadian penyakit demam berdarah di area yang dirawat. Setelah dibandingkan, ternyata wilayah dengan nyamuk modifikasi punya tingkat virus dengue yang lebih rendah ketimbang yang tidak diberikan nyamuk modifikasi.

Para peneliti pun menemukan jika bakteri Wolbachia bisa bertahan di alam liar dengan level yang tinggi dalam waktu yang lama. Sebab, seiring dengan berkembang biaknya nyamuk yang telah terinfeksi bakteri itu di populasi liar, keturunannya juga akan memiliki bakteri Wolbachia.

Karena kesederhanaan metode itu, peneliti menyebut cara ini sebagai pendekatan yang indah. "Keindahan dari pendekatan ini adalah metode 'sekali dan selesai'," kata Simmons. "Setelah upaya awal untuk menetapkan Wolbachia dalam populasi nyamuk, ia kemudian bertahan selama bertahun-tahun tanpa perlu lebih banyak pekerjaan."

Penelitian di Yogyakarta ini sendiri bukanlah riset yang pertama kali dilakukan. Pasalnya, 10 tahun lalu, penelitian serupa juga dilakukan di Queensland, Australia.

Riset di Australia itu dilakukan di uji laboratorium dan studi lapangan. Pada akhirnya, negara bagian Australia itu dinyatakan bebas demam berdarah.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait