Setahun Menjabat, Pemerintahan Jokowi-Ma'ruf Disebut Wariskan Utang Rp 20,5 Juta ke Tiap Penduduk RI
Twitter/KSPgoid
Nasional

Ekonom Institute for Development of Economics and Finance (Indef), Bhima Yudhistira, menyinggung soal nilai utang negara yang terus meningkat dan menjadi warisan bangsa.

WowKeren - Di momen satu tahun pemerintahan Presiden Joko Widodo dan Wakil Presiden Ma'ruf Amin, Institute for Development of Economics and Finance (Indef) menyoroti beberapa persoalan di bidang ekonomi. Ekonom Indef, Bhima Yudhistira, menyinggung soal nilai utang negara yang terus meningkat dan menjadi warisan bangsa.

Bhima menjelaskan bahwa berdasarkan catatan International Debt Statistics 2021 dari Bank Dunia, Indonesia menduduki peringkat 6 dalam daftar negara berpendapatan menengah dan rendah dalam Utang Luar Negeri (ULN) tertinggi di dunia. ULN Indonesia tercatat mencapai USD 402 miliar.

Beban ULN tersebut bahkan berpotensi makin membengkak di tengah masa pandemi virus corona (COVID-19) ini. "Di tengah situasi pandemi, pemerintah terus menambah utang dalam bentuk penerbitan utang valas yang rentan membengkak jika ada guncangan dari kurs rupiah," terang Bhima dilansir Liputan6.com pada Selasa (20/10).

Diketahui, tahun ini pemerintah telah menerbitkan Global Bond sebesar USD 4,3 miliar dan jatuh tempo pada 2050 atau tenor 30,5 tahun. Bhima menjelaskan bahwa hal ini berarti pemerintah mewarisi utang pada generasi ke depan.


"Setiap 1 orang penduduk di era Pemerintahan Jokowi-Maa’ruf Amin tercatat menanggung utang Rp 20,5 juta," ungkap Bhima. "Itu diambil dari perhitungan utang pemerintah Rp 5.594,9 triliun per Agustus 2020 dibagi 272 juta penduduk."

Lebih lanjut, Bhima tak menyangkal jika beban utang itu akan semakin membesar. Pasalnya, pertumbuhan ekonomi nasional alami penurunan hingga menyentuh level minus 5,32 persen di kuartal II 2020.

Sementara itu, kesiapan pemerintah dalam hal stimulus pemulihan ekonomi nasional (PEN) menghadapi resesi ekonomi hanya 42, persen dari PDB. Angka tersebut relatif lebih kecil dibanding negara tetangga seperti Malaysia yang mencapai 20,8 persen dan Singapura 13 persen.

"Stimulus kesehatan dalam PEN hanya dialokasikan 12 persen, sementara korporasi mendapatkan 24 persen stimulus," papar Bhima. "Ada ketimpangan yang nyata antara penyelamatan kesehatan dibandingkan ekonomi."

Selain itu, Bhima juga menilai bahwa pembangunan infrastruktur yang jor-joran di masa pemerintahan Jokowi-Ma'ruf merupakan salah satu masalah terbesar. Pasalnya, Bhima menilai program terbilang sia-sia dalam menurunkan ongkos logistik.

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait