3 Siswa SD di Tarakan Tak Naik Kelas Diduga Karena Kepercayaan, Kepala   Sekolah Buka Suara
Nasional

Kepala Sekolah SDN 051 Tarakan, FX Hasto Budi Santoso, membenarkan bahwa ketiga siswa yang tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut tersebut memang merupakan penganut Saksi Yehuwa.

WowKeren - Komisi Perlindungan Anak Indonesia (KPAI) mengungkapkan ada tiga kakak beradik yang menganut kepercayaan Saksi Yehuwa di Kota Tarakan, Kalimantan Utara, yang tidak naik kelas selama tiga tahun berturut-turut. Ketiga siswa SDN 051 Kota Tarakan itu disebut tidak naik kelas karena masalah nilai agama di raport.

"Orangtua korban membuat pengaduan ke KPAI dan atas pengaduan tersebut, KPAI segera melakukan koordinasi dengan Itjen Kemendikbudristek untuk pemantauan bersama ke Tarakan," ungkap Komisioner KPAI Retno Listyarti dalam keterangannya, Minggu (21/11).

Menanggapi isu tersebut, Kepala Sekolah SDN 051 Tarakan, FX Hasto Budi Santoso, lantas buka suara. Hasto membantah tudingan telah terjadi intoleransi di sekolah pimpinannya.

"Saya tidak setuju dengan pernyataan bahwa terjadi intoleransi di sekolah," tegas Hasto kepada Kompas.com, Senin (22/11). "Tidak ada perlakuan diskriminatif atau intoleran. Setiap bertemu guru, ketiganya selalu menyapa. Hubungan dengan para temannya baik, begitu juga dengan guru-gurunya."

Menurut Hasto, ketiga siswa tersebut memang merupakan penganut Saksi Yehuwa. Meski demikian, Hasto mengaku bahwa pihak sekolah tak pernah mempermasalahkan keyakinan siswa tersebut.

Pihak sekolah disebutnya hanya kesulitan membina ketiga siswa tersebut. Mereka disebut tak pernah mau memberi hormat kepada bendera Merah Putih kala upacara dan tak mau menyanyikan lagu Indonesia Raya.

"Tindakan mereka itu lebih pada ranah akidahnya," kata Hasto. "Saya tidak berani mengatakan tindakan yang didasari keyakinan itu memengaruhi nasionalisme mereka, jadi sebetulnya persoalan ini yang menjadi perhatian kami, bagaimana solusinya."


Lebih lanjut, Hasto menegaskan bahwa pihak sekolah tak pernah memberikan perlakuan berbeda bagi ketiga siswa tersebut. Ketiganya diperlakukan sama dengan siswa lain pada saat pembelajaran tatap muka dan pembelajaran jarak jauh.

"Saya secara pribadi berharap kasus seperti ini tidak boleh hanya mendengarkan satu pihak," terangnya. "Yang kedua, fokusnya adalah bagaimana menyelamatkan anak-anak ini. Bukan masalah perkara hukumnya yang dibesar-besarkan."

Hasto lantas memaparkan alasan ketiga siswa tidak naik kelas sejak tahun 2018 hingga 2020. Pada tahun 2018, ketiganya tak naik kelas karena tidak mau memberikan hormat pada bendera Merah Putih dan menolak menyanyikan lagu kebangsaan. "Dari risalah yang saya baca, nilai PPKN mereka kurang baik, itu salah satu sebab mengapa tidak naik saat itu," jelasnya.

Kemudian pada tahun 2019 dan 2020, ketiganya tidak memiliki nilai baik dalam mata pelajaran Bahasa Indonesia, Agama, dan PPKN. Karena itu, diputuskan ketiganya belum bisa naik kelas.

"Mereka kurang bagus di Mapel itu, mungkin akibat jarang masuk atau tugas yang tidak lengkap, sehingga akhirnya nilainya tidak memenuhi syarat. Saya kira sekolah pasti ada dasarnya untuk memutuskan itu," tambahnya.

Adapun orangtua ketiga siswa yang tak naik kelas itu menggugat SDN 051 Kota Tarakan. Menurut kuasa hukum penggugat, ada intoleransi yang memberikan efek pada kondisi psikologi anak.

Terkait hal tersebut, pihak sekolah mendatangkan tenaga psikolog dari Dinas Pemberdayaan Perempuan Perlindungan Anak (DP3A) Kota Tarakan. Hasto meyakini bahwa siswanya tidak mengalami gangguan psikologi karena memang tidak ada aksi intolernasi.

"Untuk menjawab hukum tentu harus lewat secarik kertas. Pemeriksaan psikolog tidak ada gangguan psikologi, normal saja. Kami yakin anak didik kami tidak ada gangguan psikologi itu karena memang tidak ada intoleransi atau diskriminasi," paparnya.

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait