Pakar Nilai RKUHP Soal Hina Pemerintah Dipenjara 3 Tahun Disebut Sebagai Kemunduran Hukum
Rawpixel
Nasional

Rancangan aturan baru yang dikeluarkan oleh pemerintah kembali menjadi sorotan dan menuai kritikan. Sebelumnya, BEM UI telah mengkritik RKUHP soal ancaman pidana bagi penghina pemerintah.

WowKeren - Sebagaimana diketahui, dalam Rancangan Kitab Undang-undang Hukum Pidana (RKUHP) terdapat pasal yang mengatur tentang ancaman pidana 3 tahun bagi penghina pemerintah. Hal ini lantas memicu reaksi dari publik, tak terkecuali Badan Eksekutif Mahasiswa Universitas Indonesia (BEM UI).

BEM UI sebelumnya melontarkan kritikan terhadap Pasal 273 draf RKUHP tersebut. Pihaknya bahkan mempertanyakan apa urgensi dari pasal tersebut.

Kini, giliran Dosen Departemen Hukum Tata Negara Universitas Gadjah Mada (UGM) Herlambang P Wiratraman yang juga melontarkan kritikan. Herlambang bahkan menilai pasal tentang ancaman pidana bagi penghina pemerintah itu justru bentuk kemunduran hukum.

Herlambang menyebut bahwa pasal tersebut tidak sejalan dengan hukum hak asasi internasional. "Saya kira ini jauh di bawah hukum hak asasi internasional, terutama pengaturan kebebasan tentang ekspresi," ujar Herlambang kepada wartawan, Kamis (16/6).


Herlambang mengatakan bahwa pengaturan seperti itu nantinya tentu akan berdampak luas terhadap upaya melindungi kebebasan sipil. "Perlu diperhatikan, kita ini kan mendorong negara hukum demokratis, tapi karakter pembentukan hukum yang sekarang ini ada dalam draf RKUHP, itu justru kemunduran dalam menata legislasi yang lebih punya makna di tengah masyarakat," ungkapnya.

Lebih lanjut, Herlambang kemudian menyinggung hukum zaman kolonial Belanda. Di mana, terdapat pasal-pasal yang membungkam aspirasi atau pendapat kaum pribumi. "Nah, ini berulang, jadi peristiwa 2022 ini sebenarnya mengulang peristiwa masa kolonial dulu," beber Herlambang.

Herlambang kemudian melihat pembentukan hukum di Indonesia semakin otokratis (pemimpin memegang kendali penuh). Ia pun menilai bahwa pembentukan hukum di Indonesia sarat akan potensi pelanggaran.

"Saya merasa ada hubungan yang kuat dengan kenyataan yang kita dapati, karakter pembentukan hukum yang semakin otokratis," papar Herlambang. "Prosesnya ugal-ugalan, ya serampangan lah ya, substansinya abusive, jadi sarat dengan potensi pelanggaran HAM dan minim partisipasi."

(wk/tiar)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait