PDIP Usul Amandemen UUD 45 dan Hidupkan GBHN, Pengamat Nilai Ingin Kendalikan Presiden Lewat MPR
Nasional

Direktur Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, menilai PDIP memiliki transaksi politik di balik pencetusan wacana Amandemen UUD 45 untuk hidupkan GBHN.

WowKeren - Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDIP) menggulirkan wacana Amandemen UUD 1945 untuk menghidupkan kembali Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) dan menetapkan kembali MPR sebagai lembaga tertinggi negara. Ketua Umum PDIP, Megawati Soekarnoputri, memasukkan wacana tersebut sebagai salah satu poin rekomendasi Kongres V di Bali pada akhir pekan lalu.

Namun sayangnya, wacana ini justru menuai polemik. Pasalnya, GBHN dinilai justru membelenggu Presiden dan menghidupkan kembali semangat Orde Baru (Orba).

Direktur Pusat Studi Konstitusi ( PUSaKO) Fakultas Hukum Universitas Andalas, Feri Amsari, mengkritik wacana tersebut. Menurut Feri, PDIP memiliki transaksi politik di balik pencetusan wacana tersebut.

"Saya duga jangan-jangan ini kehendak PDIP mengendalikan Presiden melalui lembaga yang bernama MPR," tutur Feri dilansir Kumparan pada Selasa (13/8). "Karena jika setengah saja jumlah anggota MPR itu kemudian punya perspektif politik yang berbeda dengan Presiden, sangat mungkin Presiden tersandera oleh kepentingan MPR itu."


Diketahui, GBHN adalah haluan tentang penyelenggaraan negara yang ditetapkan oleh MPR untuk jangka waktu 5 tahun. Tetapi setelah Amandemen UUD 1945, GBHN dan peran MPR sebagai lembaga tertinggi sudah tak berlaku dan diubah menjadi lembaga negara. Presiden sendiri merupakan kepala negara sekaligus kepala pemerintahan yang memegang penuh kekuasaan eksekutif.

Oleh sebab itu, Feri menuturkan apabila MPR kembali mengaktifkan GBHN, maka Presiden akan bertanggung jawab pada 2 lembaga. Yakni DPR dalam penyelenggaraan Undang-Undang dan MPR untuk GBHN. Hal tersebut tetntu dapat mengganggu kinerja Presiden.

"Bukan tidak mungkin jabatan masa Presiden itu terganggu dengan kekuasaan parlemen, kalau bisa diganggu, itu yang disebut dengan parlementer. Konsep itu kan memberikan pusat kewenangan kepada tersentralisasi di kepresidenan," ungkap Feri. "Sementara ketika presiden harus tanggung jawab kepada MPR, lembaga tertinggi negara, tentu sentralistik kekuasaan berada di tangan MPR, itu mirip parliamentary."

Feri lantas meyakini bahwa gagasan kewenangan GBHN akan merusak pola ketatanegaraan secara menyeluruh. Wacana ini juga dinilai bisa membuat proses transaksi politik semakin meluas.

"Misal, PDIP nawarin masa jabatan untuk Presiden bisa lebih dua periode kalau ada GBHN atau perubahan UU. Ini perlu dijawab oleh politisi yang mengusulkan itu, pasti ada transaksi politik," pungkas Feri. "Presiden harus jaga marwahnya, kalau berkali-kali dipanggil dua lembaga berbeda, mempertanggungjawabkan, akan merusak marwah juga, misal presiden dinyatakan langgar GBHN, jangan-jangan akan ada sanksi sosial. Itu mengganggu kinerja."

(wk/Bert)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait