Ada Indikasi Megakorupsi di Jiwasraya, Eks Direktur Angkat Bicara
Nasional

Selain megakorupsi, tidak hati-hatinya perusahaan dalam menginvestasikan dana nasabah juga dituding menjadi penyebab tekor. Jiwasraya disebut menginvestasikan dananya ke 'saham gorengan'.

WowKeren - Perusahaan asuransi pelat merah, Jiwasraya, tengah terlilit defisit dalam jumlah yang begitu besar. Disebut-sebut Jiwasraya mengalami tekor hingga Rp32 triliun dan menyerah untuk membayarkan polis asuransi para nasabahnya.

Kasus ini pun mendadak menjadi prioritas sejumlah lembaga negara, termasuk Kejaksaan Agung. Belakangan diungkap oleh Jaksa Agung ST Burhanuddin ada indikasi megakorupsi di balik defisit yang terjadi, yang berpotensi merugikan negara hingga Rp13,7 triliun.

Menanggapinya, mantan Direktur Keuangan Jiwasraya periode 2008-2018, Hary Prasetyo, pun angkat bicara. Hary menyebut pihaknya sangat menghargai proses hukum yang berlaku serta siap berkontribusi aktif hingga kasus ini tuntas diusut.

"Jadi saya sangat menghormati proses hukum ini. Saya percayakan (kepada pihak berwenang) karena memang sudah sejak tahun lalu saya mematuhi (proses hukum yang ada)," kata Hary, dilansir detikcom, Jumat (20/12).

"Saya hadir di beberapa panggilan. Walau saya bukan direksi lagi, saya tetap fokus menyelesaikan ini sampai tuntas," imbuh Hary.

Selain ada indikasi korupsi, Kejagung juga mengungkap soal investasi oleh Jiwasraya yang dilakukan dengan tidak hati-hati. Dana nasabah diinvestasikan di "saham gorengan" yang berujung pada kerugian besar.


Sebagai informasi, saham gorengan merupakan istilah yang digunakan untuk menggambarkan saham perusahaan yang begitu fluktuatif. Dengan demikian, walau menjanjikan hasil yang besar, risiko investasinya pun sangat tinggi.

Hary pun memberi penjelasan soal investasi tersebut. Ia menyebut kondisi keuangan kala itu tak memungkinkan Jiwasraya untuk berinvestasi di saham blue chip yang tergolong memiliki risiko rendah.

"Kalau saya mau beli, kalau kita mutuskan untuk beli, beli blue chip deh wah sangat senang saya, nggak usah repot-repot Pak," kata Hary. "Tapi cukup nggak uang kita waktu itu?"

Kala itu, jelas Hary, harga saham blue chip bisa mencapai Rp4 juta per lot saham. Dengan jumlah dana yang sama, investor bisa membeli lebih banyak saham "lapis dua dan tiga" walau berisiko lebih tinggi.

Saat itu perusahaan memerlukan pendapatan besar dalam waktu singkat. Oleh karena itu Jiwasraya pun mengambil keputusan untuk berinvestasi di saham non-blue chip.

Namun Hary memastikan investasi sudah dilakukan dengan hati-hati. Beberapa pihak terkait pun ikut diajak berkoordinasi, termasuk OJK dan BPK. "Jadi bukan yang ugal-ugalan, yang investasi tidak terukur," pungkas Hary.

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru