RUU Pemilu Setop Dibahas, Ini 6 Dampak Buruk Jika Pilpres Digelar Bareng Pilkada di 2024
Nasional

DPR RI secara mengejutkan menyudahi pembahasan RUU Pemilu. Hal ini memunculkan peluang Pilpres dan Pilkada digelar serentak di tahun 2024 yang ternyata membawa dampak negatif.

WowKeren - DPR RI secara mengejutkan mengambil keputusan menghentikan pembahasan RUU Pemilu. Dengan demikian, besar kemungkinan Pemilihan Presiden dan Pemilihan Kepala Daerah akan digelar bersamaan di tahun 2024 mendatang.

Banyak yang langsung mengkritik keputusan ini, termasuk Komisi Pemilihan Umum yang merasa beban pekerjaannya di tahun 2024 mendatang akan sangat berat. Kekhawatiran "horor" di Pemilu Serentak 2019 lalu, yang sampai menyebabkan ratusan KPPS meninggal dunia, akan kembali terjadi lah yang kemudian membuat KPU berharap normalisasi Pemilu digelar dengan Pilkada dilakukan pada 2022 dan 2023.

"Pemilu dengan desain seperti itu sebaiknya jadi yang pertama dan terakhir. Saya harapkan jadi yang pertama dan terakhir karena secara teknis melampaui kapasitas manusia dan KPU dalam menyiapkan logistik Pemilu," tegas Komisioner KPU, Pramono Ubaid Tanthowi, dilansir dari Kumparan.

Setidaknya ada 6 dampak negatif yang bisa terjadi jika memaksakan Pemilu serentak kembali dilaksanakan. Berikut penjelasan mulai dari Pramono hingga peneliti Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI) Prof Siti Zuhro dan Muhammadiyah atas isu Pemilu serentak.

Yang pertama tentu saja beban kerja KPPS. "Berkaca dalam Pemilu 2019, berdasarkan data kita terakhir ada 895 meninggal dunia di mana 5.175 sakit," jelas Pramono, Minggu (7/2).

Lalu ribuan TPS pun terpaksa melakukan pemungutan suara ulang atau penghitungan lanjutan karena pengiriman logistik yang tidak tepat waktu akibat medan yang berat. Kemudian Pramono menyoroti pula anggaran yang sangat besar kemungkinan membengkak akibat Pemilu serentak ini.


Pilpres, menurut Pramono, biasanya memakan waktu 18 bulan terhitung sejak tahapan pendaftaran serta kampanye. Sedangkan Pilkada memakan waktu 10-12 bulan. Irisan berbagai tahapan ini tentu saja riskan untuk merepotkan para petugas yang bekerja, belum dengan anggarannya yang menyedot dari tahun 2022-2024.

"Anggaran sangat besar dari APBN dan APBD untuk Pilkada," beber Pramono. "Kalau APBN dialokasikan 3 tahun anggaran kalau dilaksanakan 2024, berarti anggaran dari tahun 2022, 2023 dan 2024. Jadi anggaran ini besar."

Wakil Ketua LKHP PP Muhammadiyah, Ridho Al-Hamdi, menyoroti soal kelelahan publik akan suasana politik di tahun pelaksanaan. Serta sangat berpotensi meicu terjadinya gesekan psikososial di masyarakat.

"Indeks demokrasi dari Freedom House sejak 2014 Indonesia melemah pada kebebasan sipil," terang Ridho. "Kita lihat setelah Prabowo-Jokowi sampai pascapemilu sampai detik ini dampak psikososial ke bawah masih terjadi bahkan di Sulsel ada kejadian makam dipindah karena beda pilihan."

Kemudian akan banyak Pelaksana Jabatan (PJ) karena pemimpin daerah sebelumnya sudah lengser namun belum bisa diadakan pemilihan lagi. Padahal diketahui kewenangan seorang PJ seperti ini sangat terbatas tidak seperti gubernur definitif.

Sedangkan yang terakhir, Prof Siti Zuhro dari LIPI menilai pelaksanaan Pemilu serentak bertentangan dengan new normal. Diperlukan jeda antara semua jenis pemilihan demi tahapan Pemilu yang lebih rapi, mulai dari pencalonan sampai pengumuman hasil.

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait