Polemik 'Kebijakan Intoleran-Diskriminatif' Anies Baswedan
Nasional

Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan ditudung kerap mengeluarkan kebijakan yang intoleran dan diskriminatif selama memimpin Ibu Kota. Benarkah klaim tersebut?

WowKeren - Gubernur DKI Jakarta Anies Baswedan dikritik karena kerap mengeluarkan kebijakan yang intoleran dan diskriminatif selama memimpin Ibu Kota RI. Menanggapi kritikan tersebut, Anies pun memberi bantahan.

Anies bahkan menantang siapa saja untuk menunjukkan bukti bahwa ada kebijakan intoleran dan diskriminatif selama dirinya memimpin Ibu Kota. "Tolong ditunjukkan selama dua tahun ini, kebijakan mana yang intoleran, tolong ditunjukkan kebijakan mana yang diskriminatif," kata Anies dalam peluncuran buku 'Memoar Pilkada DKI 2017' yang disiarkan YouTube Mardani Ali Sera, dilansir CNNIndonesia, Rabu (12/8). "Tolong ditunjukkan, fakta mana yang bisa membenarkan imajinasi bahwa gubernur dan pemerintah adalah intoleran."

Menurut laporan SETARA Institute terkait Indeks Kota Toleran 2018, Jakarta berada di 10 Kota dengan skor toleransi terendah. Jakarta berada di peringkat 92 dari 94 kota dengan skor 2.880.

Laporan ini telah dirilis pada 7 Desember 2018 itu atau satu tahun lebih sejak Anies menjabat sebagai Gubernur. Dalam pemberitaan salah satu media, SETARA saat itu mengakui penilaian Jakarta Kota Intoleran pada 2018 berdasarkan kebijakan yang terentang sejak pemerintahan sebelum Anies atau pada akhir masa jabatan gubernur sebelumnya.

SETARA menggunakan empat variabel sebagai alat ukur, variabel itu yakni Regulasi Pemerintah Kota, Tindakan Pemerintah, Regulasi Sosial, Demografi Agama. Secara rinci dijelaskan, indikator untuk variabel Regulasi Pemerintah Kota adalah rencana pembangunan dalam bentuk Rencana Pembangunan Jangka Menengah Daerah (RPJMD) dan produk hukum pendukung lainnya.

Indikator untuk variabel Tindakan Pemerintah adalah pernyataan pejabat kunci tentang peristiwa intoleransi; tindakan nyata terkait peristiwa. Indikator untuk variabel Regulasi Sosial adalah peristiwa intoleransi; dinamika masyarakat terkait peristiwa intoleransi. Serta indikator untuk variabel demografi agama adalah heterogenitas keagamaan penduduk; inklusi sosial keagamaan.


Adapun sumber data untuk mengukur indikator di atas didapatkan dari dokumen resmi pemerintah kota, data BPS, data Komnas Perempuan, data Setara Institute dan referensi media terpilih. Namun, untuk mengurangi bias SETARA menempuh dua teknik, yaitu triangulasi dengan narasumber-narasumber kunci mengenai khususnya situasi toleransi di 10 kota dengan skor tertinggi dan 10 kota dengan skor terendah.

Dalam studi itu, SETARA menyebut ada kemungkinan terjadinya bias subjektivitas dalam memberikan skor yang sulit untuk dihindari dalam melakukan scoring pada masing-masing indikator. Di samping itu, SETARA juga melakukan konfirmasi melalui expert meeting mengenai indexing sementara dan self-assessment, khususnya pada dua kluster 10 skor tertinggi dan 10 skor terendah, sebelum dilakukan scoring final.

Dalam laporannya SETARA tak memberikan contoh kasus soal kebijakan-kebijakan Pemprov DKI yang dianggap tidak toleran. Saat itu, Ketua SETARA Hendardi hanya menyatakan bahwa scoring rendah terhadap DKI sedikit banyak dipengaruhi oleh sejumlah peristiwa selama momen Pilkada DKI 2017.

Gubernur Anies sendiri kala itu langsung merespons survei SETARA. Sehari setelah laporan SETARA, Anies mengatakan bahwa pertanyaan-pertanyaan yang digunakan dalam survei tersebut harus diperiksa objektivitasnya.

Sementara itu, berdasarkan laporan Indeks Demokrasi Indonesia (IDI) yang dirilis Badan Pusat Statistik, Provinsi DKI Jakarta menempati peringkat pertama paling demokratis pada 2019, dengan indeks demokrasi sebesar 88,29 poin. Angka ini memecahkan rekor indeks demokrasi Indonesia tertinggi di Indonesia selama 11 tahun penghitungan indeks ini.

Jika melihat secara rinci dalam penghitungan indeks demokrasi ini, ditemukan enam indikator yang berkaitan dengan isu toleransi dan diskriminasi. Enam indikator itu yakni aturan tertulis yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat dalam menjalankan agamanya; tindakan atau pernyataan pejabat Pemerintah yang membatasi kebebasan atau mengharuskan masyarakat menjalankan ajaran agamanya; ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan dari satu kelompok masyarakat terhadap kelompok masyarakat lain terkait dengan ajaran agama.

Lalu indikator aturan tertulis yang diskriminatif dalam hal gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya; tindakan atau pernyataan pejabat pemerintah daerah yang diskriminatif dalam hal gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya; ancaman kekerasan atau penggunaan kekerasan oleh masyarakat karena alasan gender, etnis atau terhadap kelompok rentan lainnya. Jadi secara keseluruhan, Jakarta mencatat nilai yang stabil dan meningkat dalam enam indikator itu.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru