Sederet Alasan Mengapa Vaksin Nusantara Terawan Dinilai Janggal dan Tidak Masuk Akal
Health

Mantan Menkes Terawan disibukkan dengan pengembangan vaksin COVID-19 Nusantara. Diklaim bisa tahan seumur hidup, ahli biomolekuler mengungkap sederet terobosan vaksin itu yang dinilai tidak masuk akal. Apa saja?

WowKeren - Vaksin Nusantara yang digagas mantan Menteri Kesehatan (Menkes) Terawan Agus Putranto tengah menjadi perbincangan panas. Apalagi, vaksin buatan anak bangsa itu diklaim dapat menciptakan antibodi atau daya kekebalan tubuh yang bisa bertahan seumur hidup untuk membantu melawan virus corona.

Diketahui vaksin Nusantara merupakan produk kerja sama antara PT Rama Emerald Multi Sukses (Rama Pharma) bersama AIVITA Biomedical asal Amerika Serikat dengan Universitas Diponegoro (Undip) dan RSUP Dr. Kariadi Semarang di Indonesia. Vaksin ini dikembangkan dengan basis sel dendritik yang mulai dikembangkan pada September 2020.

Dilansir dari Kumparan, sel dendritik merupakan sel imun yang menjadi bagian dari sistem imun. Satu vaksin hanya diperuntukkan pada satu orang atau bersifat personalisasi. Dengan demikian, vaksin ini diyakini akan aman bagi mereka yang memiliki penyakit penyerta (komorbid).

Berdasarkan penjelasan Terawan, vaksin COVID-19 yang dikembangkan dengan sel dendritik akan terbentuk antigen khusus yang nantinya bisa membentuk antibodi. Sel dendritik sendiri berasal dari sel punca hematopoietik CD34+ di sumsum tulang, terdiri atas kumpulan subset yang berbeda secara perkembangan dan fungsional yang mengatur fungsi sel T. Sel tersebut biasanya bisa membantu berbagai penyakit infeksius, kanker, dan autoimunitas.

Terawan

Berbagai Sumber

Namun, pengembangan vaksin Nusantara ini juga mendapatkan sorotan dari berbagai pihak. Salah satu sorotan hingga pertanyaan datang dari pemegang gelar doktor molekuler dan biologi seluler dari Universitas Adelaide Australia, Dr Ines Atmosukarto. Sepak terjang Ines sebagai ilmuwan sendiri sudah diakui secara internasional.

Ia telah memenangkan banyak penghargaan untuk penelitian dalam menemukan pengobatan baru untuk kanker dan penyakit menular. Saat ini, Ines mengepalai Lipotek, sebuah rintisan usaha peneliti tentang obat dan vaksin yang berbasis di Australia. Lipotek juga bekerja sama dengan berbagai pihak di Indonesia termasuk Bio Farma dan Lembaga Eijkman.

Ines menyoroti data hingga kecocokan penelitian yang dilakukan terkait pengembangan vaksin Nusantara yang sudah melewati uji klinis fase I. Ia menyebut kejanggalan data uji klinis I vaksin Nusantara yang belum terlihat dan tak di-update ke data uji klinis global. Padahal, seharusnya semua data sudah tercatat semua di situ, seperti keamanannya.


Vaksin COVID-19

Berbagai Sumber

Menurutnya, hal itu tidak akan jadi janggal jika mendapatkan izin dari Komite Etik setiap menyelesaikan protokol uji klinis. Namun yang jadi pertanyaan adalah Komisi Etik manakah yang telah mengizinkan vaksin Nusantara lolos uji klinis fase I.

"Mana datanya uji klinis I sehingga bisa maju ke uji klinis II. Misalnya kita lihat vaksin yang lain termasuk Sinovac, Pfizer, data fase 1 mereka terbuka, kita bisa baca dan lihat. Ini vaksin Nusantara belum ada, dalam diskusi ilmiah mana pun saya belum dengar," beber Ines. "Jangan lupa, setiap uji klinis ini kan membutuhkan partisipasi relawan. Artinya ada saudara kita di Indonesia yang rela meluangkan waktu dan juga dirinya untuk ikut uji coba."

Kedua Ines menanyakan pembuatan vaksin Nusantara dengan pendekatan secara dendritik yang biasanya digunakan untuk imunoterapi kanker. Hal ini dinilai tidak masuk akan untuk mengatasi wabah virus corona karena tidak ada vaksin dendritic cell untuk virus. Penyebabnya pendekatan ini sangat mahal, rumit, dan tidak bisa dilakukan secara massal.

"Tidak ada vaksin dendritic cell untuk virus. Kenapa? Karena prosesnya mahal. Enggak mungkinlah kita melakukan pendekatan ini untuk memvaksinasi orang sehat, ini enggak masuk akal," jelas Ines. "Prosesnya rumit mungkin dan enggak mungkin dilakukan secara massal. Walaupun memang saya lihat di berita bisa digunakan massal. Saya ingin sekali melihat bagaimana caranya. Karena untuk setiap pasien harus diambil darahnya, terus dipurifikasi sel darah putih."

Vaksinasi

Berbagai Sumber

"Kemudian dikultur di dalam lab selama 7 hari lalu dikembalikan lagi ke pasien. Jadi bayangin, ini kan perlakuan-perlakuan yang membutuhkan sarana dan tenaga khusus," sambungnya. "Mana mungkin? Dibandingkan dengan vaksinasi biasa, itu kan orang tinggal datang, disuntik, 30 menit pergi deh. Mana yang lebih relevan untuk digunakan saat pandemi? Tentunya tindakan mana yang bisa memicu respons imun dan bisa dilakukan vaksinasi dalam sehari."

Apalagi, Ines mengingatkan target Menkes Budi Gunadi yang meminta vaksinasi dilakukan pada 800 orang per hari. Hal ini dinilai mustahil jika menggunakan vaksin Nusantara. Persiapan vaksinasi sel dendritik membutuhkan peralatan, lab khusus dan membutuhkan waktu beberapa hari.

"Perlakuannya itu jadi orang harus datang diambil darahnya dan sel dendritiknya. Itu di hari pertama, bisa beberapa jam. Kemudian sel darah putih harus ada perlakuan di dalam lab selama 6-7 hari. Baru nanti orang itu kembali lagi ke tempat awal untuk dikembalikan selnya," kata Ines. "Itu baru sekali, entahlah ini berapa kali. Ini prosesnya berhari-hari dan beberapa kali bolak-balik."

(wk/lian)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait