Alami Gejala COVID-19 Langka, Pria Ini Bikin Dokter Rasakan Sensasi Memecahkan Misteri
Dunia

Seiring berjalannya waktu, gejala yang dialami setiap pasien corona (COVID-19) pun berbeda-beda. Hal ini tentunya membuat sejumlah dokter dan ilmuwan berusaha memcahkan misteri tersebut.

WowKeren - Wabah virus corona (COVID-19) memakan korban berjatuhan setiap harinya. Hingga saat ini, Amerika Serikat (AS) masih menempati peringkat pertama sebagai negara dengan kasus positif COVID-19 terbanyak yaitu 1.570.583 jiwa.

Namun, seiring berjalannya waktu gejala yang ditunjukkan virus corona pada setiap penderitanya berbeda-beda. Bahkan ada yang menunjukkan gejala yang mirip dengan penyakit langka.

Salah satunya seperti yang dihadapi oleh para dokter di New York ini. Mereka melaporkan adanya serangkaian gejala langka pada pasien corona yang membuat mereka tidak dapat mengonfirmasi apakah pasien tersebut benar menderita COVID-19 sampai tepat sebelum ia keluar dari rumah sakit.

Menurut sebuah penelitian dalam jurnal The Lancet, Senin (18/5), para dokter melihat hasil pemindaian paru-paru pasien menunjukkan invasi jamur, hasil tes menunjukkan tidak ada tanda virus corona di saluran pernapasan bagian atasnya dan pasien tersebut memiliki respon kekebalan badai sitokin, hanya dalam beberapa jam dari awal penyakit.

"Untuk penyakit yang baru diketahui lima bulan lalu, mungkin.. terlalu dini bagi dokter untuk memastikan manifestasi mana yang khas (pada COVID-19)," kata tim peneliti yang dipimpin oleh Timothy Harkin dari divisi paru Rumah Sakit Mount Sinai.

Sementara itu, dilansir South China Morning Post, pasien yang mengalami kondisi ini adalah ahli anestesi pria berusia 34 tahun dengan catatan kesehatan yang bagus. Pasien ini awalnya didiagnosis dengan influenza A dan gejala-gejalanya hilang setelah dirawat. Setelah lebih dari 10 hari istirahat, ia kembali bekerja di pusat medis di kota, tetapi ia tiba-tiba sakit dan kembali dirawat di UGD Rumah Sakit Mount Sinai.

Pasien menunjukkan gejala demam, kedinginan, dan sesak napas. Ia juga mengalami badai sitokin, kondisi yang mengancam jiwa yang terjadi ketika sistem kekebalan tubuh menyerang sel-sel sehat. Harkin mengatakan sampel tes swab dari pasien menunjukkan negatif untuk COVID-19.


Gejala tersebut membaik dengan cepat setelah diberi antibiotik dan perawatan standar untuk infeksi paru-paru. Namun, pada hari kelima pasien dirawat, kondisinya kembali memburuk. "(Obat) diberikan, tanpa perbaikan klinis," kata peneliti.

Pemindaian paru-paru pria ini juga menunjukkan tanda peradangan, yang terlihat seperti 'halo' di paru-paru kanan, yang menurut ahli radiologi bisa jadi infeksi jamur. "(Peradangan) itu tidak khas dari temuan CT Scan yang dilaporkan sebelumnya untuk COVID-19," sambung mereka.

Namun, peneliti mencurigai ini adalah COVID-19 lalu mereka pun kembali melakukan pengetesan pada hari ketujuh. Namun, hasilnya kembali negatif.

Hingga akhirnya tim memutuskan menggunakan cara lain, yaitu metode bronchoalveolar lavage (BAL). Metode dengan cara memasukkan selang ke paru-paru untuk mengekstraksi cairan dan jaringan.

Metode ini sebenarnya jarang digunakan di AS dan American Association for Bronchology and Intervensional Pulmonology menentang penggunaannya untuk menguji COVID-19, kecuali untuk kasus ekstrem. Tetapi peneliti mengatakan cara ini dapat meningkatkan akurasi deteksi virus hingga lebih dari 90%, dibandingkan swab yang 60% dan 30% untuk rapid test.

Dengan menggunakan tes BAL ini menunjukkan pasien positif terinfeksi virus corona, sehingga ia harus dirawat selama 9 hari di rumah sakit. "Melalui panggilan telepon lanjutan, pasien melaporkan bahwa batuk dan mialgia-nya perlahan sembuh, dan demamnya tidak lebih tinggi dari 37,8 derajat Celcius," lanjutnya.

Kasus tersebut kembali menambah misteri tentang virus corona. Beberapa pasien di Tiongkok, misalnya, dites negatif saat swab oral tetapi positif dalam sampel anal. Para ilmuwan juga menemukan strain virus yang tersembunyi jauh di dalam paru-paru pasien yang telah pulih.

Beberapa peneliti mengatakan pertanyaan tersebut adalah hasil dari pemahaman yang tidak memadai tentang interaksi antara virus baru dan sistem kekebalan tubuh kita. Sementara yang lain menduga virus itu mungkin telah bermutasi dan strain baru itu menyebabkan gejala yang berbeda dari yang dilaporkan dalam kasus sebelumnya.

(wk/nidy)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait