Jokowi 'Kode' Restui Amandemen UUD 1945, Ketua MPR Tegaskan Demi Pemindahan Ibu Kota Negara
Instagram/jokowi
Nasional

Presiden Joko Widodo dianggap memberikan sinyal merestui amandemen terbatas UUD 1945, termasuk demi menghadirkan PPHN, yang menurut pakar hukum tata negara adalah hal berbahaya.

WowKeren - Isu amandemen UUD 1945 kembali mencuat, bahkan disampaikan secara gamblang oleh Ketua MPR RI Bambang Soeastyo dalam pidatonya di Sidang Tahunan, Senin (16/8) hari ini. Bamsoet menyebut amandemen akan dilakukan demi menghadirkan Pokok-Pokok Haluan Negara (PPHN) yang akan menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah.

"PPHN akan menjadi landasan setiap rencana strategis pemerintah seperti pemindahan Ibu Kota Negara dari Provinsi DKI Jakarta ke Provinsi Kalimantan Timur," ujar Bamsoet dalam pidatonya. "Pembangunan infrastruktur tol laut, tol langit, koneksitas antarwilayah, dan rencana pembangunan strategis lainnya."

Dan tampaknya rencana anggota dewan untuk melakukan kajian PPHN ini pun direstui oleh Presiden Joko Widodo. Sinyal restu ini tampak dari apresiasi Jokowi terhadap MPR yang siap mengkaji PPHN lewat amandemen UUD 1945.

"Agenda MPR untuk mengkaji substansi dan bentuk hukum Pokok-Pokok Haluan Negara juga perlu diapresiasi," tutur Jokowi di pidatonya, yang juga disampaikan di hari yang sama. "Untuk melandasi pembangunan Indonesia yang berkelanjutan lintas kepemimpinan."

Bahkan dalam pernyataan sebelumnya, Bamsoet juga mengklaim bahwa Jokowi telah menyerahkan semua urusan kajian PPHN kepada MPR. "Presiden Jokowi menyerahkan sepenuhnya kepada MPR RI mengenai pembahasan amandemen UUD 1945 untuk menghadirkan PPHN, karena merupakan domain dari MPR RI," kata Bamsoet lewat pernyataan resminya setelah bertemu dengan Jokowi di Istana Bogor, Jumat (13/8) lalu.


Meski demikian, Bamsoet menegaskan bahwa Jokowi mewanti-wanti MPR agar pembahasan amandemen tidak melebar di luar PPHN. "Beliau berpesan agar pembahasan tidak melebar ke hal lain, seperti perubahan masa periodesasi presiden dan wakil presiden, karena Presiden Jokowi tidak setuju dengan itu," tegas Bamsoet.

Bamsoet menerangkan, amandemen UUD 1945 terbatas akan menambahkan dua ayat, yakni di Pasal 3 dan 23. Satu ayat akan ditambahkan di Pasal 3 untuk memberi kewenangan MPR mengubah serta menetapkan PPHN, sedangkan satu ayat tambahan di Pasal 23 untuk mengatur kewenangan DPR RI supaya bisa menolak RUU Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara (APBN) yang diajukan pemerintah apabila tidak sesuai PPHN.

Meski sudah menegaskan bahwa amandemen UUD 1945 tidak akan melebar di luar urusan PPHN, sinyal restu dari Jokowi pun tetap dipandang berbahaya oleh pakar hukum tata negara. Feri Amsari, pakar tata hukum dari Universitas Andalas yang juga Direktur Eksekutif Pusat Studi dan Konstitusi (Pusako) tersebut menegaskan bahwa PPHN tidak ubahnya Garis-Garis Besar Haluan Negara (GBHN) yang berlaku di era orde baru.

"Kalau Presiden memberikan sinyal merestui pembahasan PPHN, atau GBHN dengan nama baru itu, Presiden sama saja menyetujui rencana amandemen," beber Feri kepada Tempo. Perubahan konstitusi yang cukup "signifikan" dengan amandemen UUD 1945, menurut Feri, sangat berbahaya di era yang dinilai tidak demokratis seperti sekarang.

Bagi Feri, langkah amandemen seperti mengganggu reformasi yang sudah terbangun dan akan berujung menempatkan kembali kewenangan oligarki serta tidak demokratis. "Yang kemudian tujuannya untuk memperkuat dominasi politik tertentu dan menjauhkan publik dari kedaulatan mereka sendiri," pungkasnya.

(wk/elva)

Follow Berita WowKeren.com di Google News

You can share this post!

Rekomendasi Artikel
Berita Terkait
Berita Terbaru